Palangkaraya: Kota dengan Dua Wajah

Palangkaraya, kota yang seakan memiliki dua wajah ini memiliki nilai emosional tersendiri bagi saya. Memiliki dua wajah, karena di satu sisi tumbuh dan berkembang sebagaimana kota-kota lain di Indonesia, sedangkan di sisi lain seakan memiliki keinginan kuat untuk tetap bertahan dalam tradisi.

Wajah ke dua justru memiliki nilai yang sangat bermakna bagi saya, karena terbentuk secara jujur, dan mempertahankan budaya serta karakter geografis yang dimilikinya. Berbeda dengan wajah pertama, yang mulai kehilangan jati diri karena telah diisi oleh arsitektur yang entah datang dari mana (terutama pada rumah tinggal dan perumahan), wajah ke dua dibentuk oleh permukiman tepian sungai yang terdiri atas beberapa rumah terapung maupun rumah-rumah panggung.

Sebagaimana keberadaannya, permukiman tepian sungai Kahayan dibentuk oleh suatu kebutuhan yang jujur terhadap fungsi, bentuk, maupun layout bangunan. Bangunan-bangunan yang berada persis ditepian sungai atau di badan sungai dirancang dengan konsep terapung dengan menggunakan kayu gelondongan atau pun drum-drum bekas sebagai dasar keterapungannya. Hal ini sangat wajar mengingat tinggi permukaan air sungai yang tak menentu, terutama pada saat peralihan musim.

Semakin mengarah ke darat, rumah-rumah terapung bermetamorfosis menjadi rumah panggung dengan ketinggian mencapai 2-4 meter, ketinggian yang juga dipengaruhi oleh jarak yang dimilikinya terhadap badan sungai. Secara messo, tata letak bangunan terpola dalam grid-grid yang dibentuk oleh regulating line atas bangunan-bangunan yang berada di darat (cenderung teratur) serta sisi sungai yang bersifat dinamis.

Rumah-rumah panggung yang memiliki ketinggian mencapai 2-4 meter diakomodasi dengan jalur transportasi berupa titian berbahan kayu yang dapat dilalui oleh pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Jalur ini pulalah yang menjadi ruang publik dan menghubungkan ruang-ruang privat maupun ruag publik lainnya.

Dalam konteks kota, permukiman tepian sungai Kahayan seharusnya berperan sebagai edge bila mengacu pada teori Kevin Lynch. Namun pada kenyataannya, permukiman tepian sungai ini justru membentuk ruang, karena di sis yang lain juga berkembang permukiman dengan pola dan konsep yang sama. Orientasi permukiman di ke dua sisi sungai ini saling berhadapan dan memunggungi kota, sehingga membentuk sebuah ruang yang sangat kuat, terlebih aktivitas yang terjadi di sungai memiliki intensitas yang sangat tinggi, baik sebagai jalur transportasi maupun transaksi.



Desain bangunan tepian sungai Kahayan sangat wajar dan jujur, tak ada keinginan untuk tampil dominan, baik dari segi bentuk, material, dimensi maupun orientasi. Kesemuanya seolah sejalan dengan kondisi iklim, geografis dan budaya, demikian pula halnya dengan pola hidup, serta ketergantungan (atau mungkin penghargaan) terhadap keberadaan dan peran penting sebuah sungai. (monang)

No comments:

Post a Comment