Pendekatan Sosial pada Rumah Susun



Kebijakan pemerintah dalam upaya menyediakan 1000 rumah susun, bisa jadi merupakan terwujudnya sebuah harapan bagi sebagian besar masyarakat menengah ke bawah yang tinggal di ibukota. Kebutuhan akan hunian yang dekat dengan lokasi mencari nafkah, tampaknya mampu menjawab masaah yang ditimbulkan oleh jarak dan kemacetan kota besar. Namun, tanpa pendekatan sosial pada proses perancangannya, mampukah rusunawa dan rusunami menjawab kebutuhan sosial masyarakat kita?


Mereka yang terbiasa bersosialisasi secara horisontal, seolah diletakkan dan dijauhkan dari komunitasnya. Mereka yang terbiasa didatangi penjual sayur, abang tukang bakso, dan bahkan pedagang kelontong, akan diletakkan di lantai sepuluh, dua puluh atau bahkan lebih. Belum lagi persoalan yang timbul akibat pola hidup (yang mungkin) cukup jauh dari teknologi, bagaimana menggunakan lift, dsb? Bagaimana pula dengan ruang bermain anak-anak? Berbagai pertanyaan terkait tampaknya harus dijawab dalam desain yang akan diwujudkan, desain yang tentu saja berbeda dengan apa yang dilakukan para pengembang terhadap apartemen-apartemen mewah. Tulisan saya dengan judul yang sama, secara lebih dalam telah dimuat di majalah Building Indonesia Edisi 25 Juni-Juli 2008. (monang)

1 comment: